Beberapa hari belakangan ini, inspirasi lagi ‘seret’. Coba corat coret, tapi si hati protes, “bener neh mo nulis yang itu?”. Tapi lumayanlah, karena ternyata si Hati masih bersuara, masih protes. Ngasih advise, ini itu, untuk dipertimbangkan oleh si otak. Dua hari yang lalu ada peristiwa yang kurang menyenangkan (ukuran aku sebagai manusia
) Begitu rajinnya aku ngabsen sang hati, lagi berat kah atau ringan… Ternyata waktu kejadian itu, rasanya cukup berat, tapi nggak banget lah, namun cukup menggantung seperti mendung yang nunggu numpahin ujan. Bolak-balik, sana-sini. Akhirnya curhat ama Tuhan. Itupun juga masih tersisa perang hebat di dada, namun magicnya, aku dapat satu clue…. Aku tantang rasa nggak enak itu untuk keluar sekalian. Dan guess what? Tumpah ruah dengan meriah….
Kususuri satu-satu, ringan, berat. Pelan-pelan aku ngobrol sambil membujuk sang hati untuk mengakui bahwa kejadian itu memang ada dan sedang senang dengan aku. Si hati tak kasih tau, “mbok ya diterima saja karena itu realita” Setelah si hati manggut setuju, akhirnya pelan-pelan beban berat tadi berkurang, meskipun sewaktu nulis ini masih ada residue, tapi sangat significant bedanya….
Alhamdulillah, yang namanya latihan memonitor termometer perasaan itu sangat menantang. Tapi dari segala tantangan itulah terbentuknya ilmu dan cara baru untuk perbaikan dan pemeliharaannya, supaya ‘merkurinya’ bisa dipake lama.
Sudah dulu ya, aku mesti tugas jaga neh. Biasa, jagain si hati supaya bisa dimonitor kegiatannya, biar yang lain jadi managable. Semoga istiqomah. Aamiin. Tetap Semangat!
Ingat sewaktu kecil? Kalau marah, marahnya total, kalau seneng, ya total juga. Fokus, 100%, dengan seluruh pikiran dan perasaan. Ini yang menggerakkan saya menulis. Saya ‘jealous’ dengan bocah-bocah imut yang main deket kos. Mereka begitu riang, seolah esok pasti bahagia, energi mereka begitu menyenangkan…
Kita pernah juga kan kecil? Pernah juga merasakan totalitas itu. Lalu apa yang salah? Basically, kita dengan personality kita yang sekarang adalah 20% genetik + 80% tempaan lingkungan. So who we are and how we react, rumusnya ya itu-itu juga.
Lalu apa hubungannya dengan kita sering lupa untuk berbahagia? Mungkin berhubungan mungkin juga tidak, tapi intinya adalah, saat kita hidup, kita terlalu sering melihat sisi gelap instead of sisi terang akan masalah. Kalau kita ditimpa masalah, seolah-olah bumi kan runtuh, semua isi bumi ini nggak berpihak dengan kita. Lalu rasa itu yang kita bawa kemana-mana, hingga saat kita kebagian untuk berbahagia, senang, gembira, mungkin saja bisa kita lakoni, tapi hanya setengahnya saja… Gimana nggak, sewaktu kita senang, berbahagia, kita tidak menikmati prosesnya secara total. Kita hanya sampai pada tahap senang dan gembira, full stop. Jarang rasa senang dan gembira kita rasakan secara total dengan ‘mengangkat’ rasa bahagia ke tingkat yang lebih tinggi, berterima kasih sama Allah. Sehingga rasa yang terhampar di dada adalah rasa kelapangan yang luar biasa, rasa syukur yang mengalir deras bahkan untuk masalah yang sedang dihadapi.